KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA
“TRAGEDI TRISAKTI”
pendahuluan
Hak merupakan
unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih
dalam kandungan sampai akhir kematiannya. Di di dalamnya tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada
dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM
seorang individu terhadap individu lain,kelompok terhadap individu, ataupun
sebaliknya.
Setelah
reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang penegakan HAM
bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya
menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita.
Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Di Indonesia”,untuk memberikan informasi tentang apa itu pelanggaran HAM
Tragedi
Trisakti sulut api reformasi 1998
LIMA belas tahun
yang lalu, enam mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembus peluru polisi.
Mereka menjadi martir saat melakukan aksi demonstrasi menolak pemilihan kembali
Soeharto sebagai Presiden, pada 12 Mei 1998 silam. Kematian pejuang pro
demokrasi itu, dengan cepat menyebar dan membakar amarah rakyat.
Peristiwa itu terjadi saat ribuan
mahasiswa menggelar longmarch dari kampus Trisakti di Grogol, menuju Gedung
DPR/MPR di Slipi Jakarta. Namun, baru sampai depan kampus, mereka sudah
dihadang ratusan polisi bersenjata lengkap dengan posisi siap menembak. Meski
dihadapkan dengan moncong sejata, pemuda-pemudi pemberani ini tak gentar.
Mereka tetap melangsungkan aksi
demonstrasi dengan menggelar mimbar bebas di jalan selama berjam-jam. Polisi
yang kesal kemudian menyuruh mahasiswa masuk, sambil mengancam akan menembak
jika mereka tak mendengar.
Mahasiswa pun setuju untuk kembali
ke dalam kampus dengan damai. Namun, saat akan masuk ke dalam kampus, mereka
mendapat provokasi hingga berujung pada bentrokan fisik. Suasana berubah
menjadi chaos, dan terdengar suara rentetan tembakan ke arah massa pro
demokrasi itu.
Enam orang dinyatakan tewas dalam
peristiwa penembakan itu. Sementara 16 orang mahasiswa lainnya, termasuk pelajar,
dan masyarakat yang ikut dalam aksi mengalami luka parah. Mereka dipukuli,
diinjak, dan menjadi korban penembakan brutal polisi.
Para mahasiswa yang tewas tertembak
dalam tragedi Trisakti adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996),
Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi 96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri
Jurusan Mesin 95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen 96), Vero
(Fakultas Ekonomi 96), dan Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil 95).
Selain mahasiswa, Samsul Bahri,
siswa STM juga tewas. Dia terkena peluru tajam pada bagian perutnya hingga
terburai, dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk operasi. Sayang, nyawa
pelajar pemberani ini tak tertolong.
Pada saat yang sama, di kampus
Atmajaya, massa mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot) tengah
melakukan aksi mimbar bebas di dalam kampus. Saat mendengar rekannya tewas
tertembus timah panas, mereka berencana bergabung dengan mahasiswa Trisakti.
Namun, baru sampai depan kampus, mereka dihadang polisi.
Pasca peristiwa itu, amuk massa
terjadi dimana-mana, hingga 15 Mei 1998. Ribuan gedung, toko, dan rumah
dihancurkan. Bahkan ada yang dibakar oleh massa. Sasaran kemarahan massa saat
itu dialihkan kepada etnis China. Tidak hanya menjarah, massa juga membunuh,
dan memperkosa para wanita keturunan etnis minoritas itu.
Situasi benar-benar tidak
terkendali. Mahasiswa ada yang coba menenangkan, namun gagal. Sedang aparat
kepolisian, dan tentara yang berjaga-jaga di lokasi saat itu, hanya menonton
dari kejauhan. Alhasil, ribuan orang menjadi korban. Ada yang tewas dalam
bentrok, hilang diculik, hingga terpanggang api saat melakukan penjarahan.
Berdasarkan data Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF), pelaku kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dibagi menjadi dua
golongan. Terdiri dari massa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi
berubah menjadi massa aktif, dan kedua kelompok provokator.
Para provokator ini, umumnya bukan
dari wilayah setempat. Secara fisik, mereka tampak terlatih, dan sebagian
memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap). Bahkan mereka tidak ikut
menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Belum diketahui siapa provokator ini.
Mereka juga membawa dan menyiapkan
sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam
pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Kelompok inilah yang menggerakkan
massa dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran,
melakukan perusakan awal, pembakaran, dan mendorong aksi penjarahan. Kelompok
ini datang dari luar, dan bukan penduduk setempat. Jumlah mereka hanya belasan,
tetapi sangat terlatih.
Kelompok ini mempunyai kemampuan
ahli dan terbiasa menggunakan alat untuk kekerasan. Mereka juga memiliki mobilitas
yang tinggi dan kerja yang sistematis. Dalam aksinya, mereka kerap menggunakan
sarana transportasi, seperti motor, mobil/Jeep, dan alat komunikasi (HT/HP).
Pada umumnya, kelompok ini sulit
dikenali walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi
pemuda (contoh di Medan, ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila).
TGPF juga menemukan fakta adanya keterlibatan anggota aparat keamanan dalam
kerusuhan di Jakarta, Medan, dan Solo.
Dalam kesimpulannya, TGPF
menyatakan, kerusuhan Mei bersifat saling terkait antar-lokasi, dengan model
yang mirip provokator. Skala kerusuhan ini sangat besar dan terdapat
keseragaman waktu. Lebih jauh, kerusuhan terjadi secara berurutan, dan
sistematis.
Tim juga menemukan, dugaan adanya
faktor kesengajaan yang mengandung unsur penumpangan situasi. Dimana para
provokator diduga sengaja menciptakan kerusuhan, sebagai bagian dari
pertarungan politik di tingkat elite.
Kesimpulan itu merupakan penegasan
bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi
politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di
dalam ABRI yang ada di luar kendali dalam kerusuhan itu.
UPAYA PENYESLESAIAN DALAM PELANGGARAN
HAM
Penyelesaian kasus trisakti nasibnya kurang lebih sama dengan
reformasi, yaitu mati suri. Bertahun-tahun sudah kasus trisakti terjadi, tapi
para pelaku tidak pernah terungkap dengan terang benderang, sehingga mereka tak
pernah dibawa ke meja hijau.
Padahal Komnas HAM menengarai adanya pelanggaran HAM berat
pada penangan demonstrasi mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Salah satu indikasi
sulitnya membongkar kasus ini adalah keterlibatan orang-orang penting
(berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat ini sehingga ada banyak
kepentingan yang menghalang-halangi penuntasa kasus ini.
Tahun demi tahun terus bergulir. Pemerintah (presiden) pun
telah beberapa kali berganti, namun penyelesaian kasus trisakti tidak tahu
rimbanya. Komnas HAM menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan laporan
penyalidikan kasus itu sejak 6 Januari 2005 kepada Kejaksaan Agung. Namun
sampai saat ini tidak ada tindak lanjut yang jelas yang dapat diketahui
masyarakat terutama keluarga korban.
Untuk itu diperlukan keseriusan, kejujuran, dan kebranian
berbagai pihak untuk menuntaskan kasus ini. Presiden serta menkopolhukam dan
kementrian hukum dan HAM yang ada dibawahnya harus bertindak. DPR memberikan
pengawasan dan meningkatkan pemerintah, Kejaksaan Agung harus mengambil langkah
strtegis. Demikian juga keberadaan Komnas HAM dan pihak lainnya untuk sama-sama
mencari solusi penyelesaiann kasus ini. Tanpa itu semua, sepertinya kita masih
harus menunngu bagaimana akhir dari tragedy Trisakti.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar