PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP
KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN
Pengaruh Kebudayaan terhadap
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Kemiskinan merupakan masalah sosial
yang bersifat global. Artinya kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan
menjadi perhatian banyak orang. Semua negara di dunia ini sepakat bahwa
kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan
peradaban.
Kemisikinan cultural merupakan
kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara
khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural yang menghubungkan
kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di
Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan
tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008).
Dari analisis faktor kemiskinan oleh
masyarakat, muncul bahwa biaya ritual yang tinggi menjadi penyebab kemiskinan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan ritual itu, mereka harus merelakan diri untuk
meminjam uang atau berhutang kepada renternir walaupun dengan jumlah bunga yang
cukup besar. Berikut adalah contoh kasus bahwa kebudayaan dapat menyebabkan
kemiskinan.
Ritual Banjar-Banjar Desa Bentek,
Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, NTB
Kekompakkan dalam gotong royong tampak jelas manakala ada
hajatan-hajatan dan musibah yang menimpa salah satu anggota Banjar. Ada dua
upacara adat dalam ritual besar untuk menjalankan apa yang disebut sebagai
bagian dari Adat Krama (adat perkawinan) dan Adat Gama (upacara adat yang
berkaitan dengan agama). Upacara-upacara ini disebut Gawe yang dibagi menjadi
Gawe Ala dan Gawe Ayu.
Gawe Ala adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara kemiskinan
yang membutuhkan pembiayaan tidak sedikit mulai dari rangkaian acara
penguburan, selamatan nyusur tana-7, malam tahlilan, upcara hari ke-7, hari
ke-9, hari ke-40, hari ke-100, nekolang hingga hari ke-1000 atau menyonyang
(mengakhiri semua urusan dengan yang meninggal).
Gawe Ayu adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara hidup
(terkadang disebut Gawe Urip). Upacara-upacara ini seperti upacara cukur
rambut, asah gigi, sunatan, pesta perkawinan dan lain-lain.
Dalam proses ritual atau acara-acara adat dan hajatan di kampung-kampung tidak
sedikit biaya yang dibutuhkan. Karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat adat
Desa Bentek adalah dalam pelaksanaan acara begawe atau tasyakuran harus
mengundang seluruh anggota Banjar dan jumlahnya cukup banyak dan yang dijamu
dengan aneka raggam makanan mulai dari jenis tradisional hingga jenis kue
modern. Pada acara ini pos pembiayaan yang punya hajatan sangat tinggi mulai
dari persiapan acara dimana warga Banjar tempat tinggalnya dan keseluruhan
warga Banjar yang bekerja ini dijamu untuk makan siang dan malam harinya.
Budaya Nyumbang di Jawa
Bagi masyarakat Jawa tentu tidak
asing dengan budaya nyumbang. Budaya ini sudah begitu akrab di
telinga kita. Nyumbang biasanya dilakukan dengan membantu
kerabat, tetangga, teman, saudara yang sedang punya hajat, entah itu hajat
melahirkan, mantu (mantenan), sunatan, maupun kematian. Bentuk sumbangan bisa
berwujud uang, barang, tenaga maupun pikiran.
Semula nyumbang sebagai
sesuatu yang bernilai agung, wujud solidaritas sosial masyarakat guna
mengurangi beban warga yang sedang hajatan. Ketika ada tetangga,
rekan atau kerabat yang sedang punya hajat, masyarakat sekitar secara suka rela
membantunya, sehingga warga yang hajatan tidak terlalu terbebani. Masyarakat
Jawa warna budayanya sangat kental. Hampir setiap tahapan kehidupan bisa
dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan, sejak lahir, sunatan,
hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pascakematian. Jika perayaan ritual
ini semua ditanggung sendirian, akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Seiring perjalanan waktu, tradisi
nyumbang ikut mengalami pergeseran nilai. Tradisi yang semula bernilai
solidaritas sosial tinggi ini pada akhirnya mengalami proses
kapitalisasi. Nyumbang yang awalnya kental dengan
nuansa solidaritas organis, solidaritas berdasarkan ketulusan, telah
berubah menuju solidaritas mekanis, solidaritas berdasarkan untung
rugi. Penyelenggaraan hajatan tidak lagi semata-mata wujud akan ketaatan
kepada tradisi, namun kepentingan-kepentingan ekonomi ikut bermain. Tradisi
nyumbang sudah bergeser dari orientasi sakral menuju kepentingan uang.
Dari dua contoh kasus diatas, dapat kita bayangkan betapa besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk acara-acara semacam itu, belum lagi mereka harus memotong
hewan kurban. Satu ekor sapi saja bisa dikatakan tidak cukup dalam prosesi adat
itu, minimal dua ekor sapi untuk dipergunakan dalam acara tersebut yang akan
disuguhkan kepada semu undangan yang hadir. Menariknya lagi, ketika akan
dilaksanankan acara hajatan semacam itu, tidak mengenal apakah orang tersebut
kaya atau miskin, kondisi acaranya berbeda, suguhannya pun juga tidak jauh
berbeda. Orang kaya memotong kerbau, orang miskin pun memotong kerbau. Inilah
kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat danterjadi secara
turun-temurun. Bahkan untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela untuk
meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga.
Sehingga biaya ritual tinggi menjadi sebuah kebiasaan turun temurun, yang
berdampak pada tingkat ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan.
Ritual sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konteks adat, budaya rasa syukur tidak cukup hanya dengan lisan, namun perlu
diwujudkan dalam bentuk upacara ritual dan kalimat syukur itu diucapkan
berbarengan dengan acara ritual.
Tidak sebanding dengan nilai kepuasan bathin yang sulit diukur, nilai negative
yang ditimbulkan oleh acara adalah sebagai sebuah pemborosan, yang menyebabkan
kemiskinan yang berdampak pada :
- Timbulnya hutang
- Hidup dalam pas-pasan tanpa memperhatikan gizi makanan karena sebagian penghasilan disimpan untuk persiapan hajatan
- Menggadaikan hak miliknya untuk kepentingan ritual
- Budaya gengsi
SIMPULAN
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang
menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak
mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat
sebagai wadah pendukungnya. Segala sesuatu yang terdapat di dalam
masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Kebudayaan merupakan perangkat peraturan tentang tingkah laku atau tindakan
yang harus dilakukan oleh masyarakat yang hidup di dalamnya dalam suatu keadaan
tertentu. Namun terkadang karena keterikatan ini, timbul adanya suatu
ketimpangan. Ketimpangan ini terjadi akibat kebudayaan yang tidak sesuai dimana
ketidaksesuaian ini menjadi masalah terutama masalah ekonomi di suatu
masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain, kebudayaan ini bisa disebut sebagai
salah satu faktor kemiskinan yang terjadi di suatu masyarakat pedesaan.
Masalah seperti ini memang sangat sulit dan membutuhkan waktu untuk
mengatasinya. Karena kebudayaan yang telah mengakar pada suatu masyarakat
tertentu sulit untuk dirubah bahkan dihilangkan. Untuk itu, diperlukan cara
untuk meminimalisir kebudayaan yang tidak sesuai serta mencari alternatif agar
unsur yang tidak sesuai tersebut tidak tetap tumbuh dalam kebudayaan sehingga
tidak menyebabkan kemisikinan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar