biodata penulis

Sabtu, 29 Oktober 2016

revisi tugas ilmu budaya dasar 1



PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN 

Pengaruh Kebudayaan terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Artinya kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Semua negara  di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban.
Kemisikinan cultural merupakan kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008).
Dari analisis faktor kemiskinan oleh masyarakat, muncul bahwa biaya ritual yang tinggi menjadi penyebab kemiskinan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan ritual itu, mereka harus merelakan diri untuk meminjam uang atau berhutang kepada renternir walaupun dengan jumlah bunga yang cukup besar. Berikut adalah contoh kasus bahwa kebudayaan dapat menyebabkan kemiskinan.

Ritual Banjar-Banjar Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, NTB
            Kekompakkan dalam gotong royong tampak jelas manakala ada hajatan-hajatan dan musibah yang menimpa salah satu anggota Banjar. Ada dua upacara adat dalam ritual besar untuk menjalankan apa yang disebut sebagai bagian dari Adat Krama (adat perkawinan) dan Adat Gama (upacara adat yang berkaitan dengan agama). Upacara-upacara ini disebut Gawe yang dibagi menjadi Gawe Ala dan Gawe Ayu.
            Gawe Ala adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara kemiskinan yang membutuhkan pembiayaan tidak sedikit mulai dari rangkaian acara penguburan, selamatan nyusur tana-7, malam tahlilan, upcara hari ke-7, hari ke-9, hari ke-40, hari ke-100, nekolang hingga hari ke-1000 atau menyonyang (mengakhiri semua urusan dengan yang meninggal).
            Gawe Ayu adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara hidup (terkadang disebut Gawe Urip). Upacara-upacara ini seperti upacara cukur rambut, asah gigi, sunatan, pesta perkawinan dan lain-lain.
            Dalam proses ritual atau acara-acara adat dan hajatan di kampung-kampung tidak sedikit biaya yang dibutuhkan. Karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat adat Desa Bentek adalah dalam pelaksanaan acara begawe atau tasyakuran harus mengundang seluruh anggota Banjar dan jumlahnya cukup banyak dan yang dijamu dengan aneka raggam makanan mulai dari jenis tradisional hingga jenis kue modern. Pada acara ini pos pembiayaan yang punya hajatan sangat tinggi mulai dari persiapan acara dimana warga Banjar tempat tinggalnya dan keseluruhan warga Banjar yang bekerja ini dijamu untuk makan siang dan malam harinya.


Budaya Nyumbang di Jawa
Bagi masyarakat Jawa tentu tidak asing dengan budaya nyumbang. Budaya ini sudah begitu akrab di telinga kita. Nyumbang biasanya dilakukan dengan membantu kerabat, tetangga, teman, saudara yang sedang punya hajat, entah itu hajat melahirkan, mantu (mantenan), sunatan, maupun kematian. Bentuk sumbangan bisa berwujud uang, barang, tenaga maupun pikiran.
Semula nyumbang sebagai sesuatu yang bernilai agung, wujud solidaritas sosial masyarakat guna mengurangi beban warga yang sedang hajatan. Ketika ada tetangga, rekan atau kerabat yang sedang punya hajat, masyarakat sekitar secara suka rela membantunya, sehingga warga yang hajatan tidak terlalu terbebani. Masyarakat Jawa warna budayanya sangat kental. Hampir setiap tahapan kehidupan bisa dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan, sejak lahir, sunatan, hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pascakematian. Jika perayaan ritual ini semua ditanggung sendirian, akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Seiring perjalanan waktu, tradisi nyumbang ikut mengalami pergeseran nilai. Tradisi yang semula bernilai solidaritas sosial tinggi ini pada akhirnya mengalami proses kapitalisasi. Nyumbang yang awalnya kental dengan nuansa solidaritas organis, solidaritas berdasarkan ketulusan,  telah berubah menuju solidaritas mekanis, solidaritas berdasarkan untung rugi. Penyelenggaraan hajatan tidak lagi semata-mata wujud akan ketaatan kepada tradisi, namun kepentingan-kepentingan ekonomi ikut bermain. Tradisi nyumbang sudah bergeser dari orientasi sakral menuju kepentingan uang. 
            Dari dua contoh kasus diatas, dapat kita bayangkan betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk acara-acara semacam itu, belum lagi mereka harus memotong hewan kurban. Satu ekor sapi saja bisa dikatakan tidak cukup dalam prosesi adat itu, minimal dua ekor sapi untuk dipergunakan dalam acara tersebut yang akan disuguhkan kepada semu undangan yang hadir. Menariknya lagi, ketika akan dilaksanankan acara hajatan semacam itu, tidak mengenal apakah orang tersebut kaya atau miskin, kondisi acaranya berbeda, suguhannya pun juga tidak jauh berbeda. Orang kaya memotong kerbau, orang miskin pun memotong kerbau. Inilah kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat danterjadi secara turun-temurun. Bahkan untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela untuk meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga. Sehingga biaya ritual tinggi menjadi sebuah kebiasaan turun temurun, yang berdampak pada tingkat ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan.
            Ritual sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks adat, budaya rasa syukur tidak cukup hanya dengan lisan, namun perlu diwujudkan dalam bentuk upacara ritual dan kalimat syukur itu diucapkan berbarengan dengan acara ritual.
            Tidak sebanding dengan nilai kepuasan bathin yang sulit diukur, nilai negative yang ditimbulkan oleh acara adalah sebagai sebuah pemborosan, yang menyebabkan kemiskinan yang berdampak pada :
  • Timbulnya hutang
  • Hidup dalam pas-pasan tanpa memperhatikan gizi makanan karena sebagian penghasilan disimpan untuk persiapan hajatan
  • Menggadaikan hak miliknya untuk kepentingan ritual
  • Budaya gengsi



SIMPULAN

            Masyarakat adalah orang yang  hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Segala sesuatu  yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
            Kebudayaan merupakan perangkat peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat yang hidup di dalamnya dalam suatu keadaan tertentu. Namun terkadang karena keterikatan ini, timbul adanya suatu ketimpangan. Ketimpangan ini terjadi akibat kebudayaan yang tidak sesuai dimana ketidaksesuaian ini menjadi masalah terutama masalah ekonomi di suatu masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain, kebudayaan ini bisa disebut sebagai salah satu faktor kemiskinan yang terjadi di suatu masyarakat pedesaan.
            Masalah seperti ini memang sangat sulit dan membutuhkan waktu untuk mengatasinya. Karena kebudayaan yang telah mengakar pada suatu masyarakat tertentu sulit untuk dirubah bahkan dihilangkan. Untuk itu, diperlukan cara untuk meminimalisir kebudayaan yang tidak sesuai serta mencari alternatif agar unsur yang tidak sesuai tersebut tidak tetap tumbuh dalam kebudayaan sehingga tidak menyebabkan kemisikinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar